Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Senin, 31 Desember 2007

Penegakan Hukum Lemah Melawan Eksploitasi Seksual Anak

Penegakan hukum di Indonesia untuk mencegah eksploitasi seksual komersial anak masih sangat lemah, sehingga banyak pelaku masih bebas. Kalaupun pelakunya dipidana, hukumannya ringan. Padahal, setiap tahun tak kurang dari 12.000-21.000 anak diperdagangkan untuk prostitusi.

Demikian benang merah diskusi menjelang Kongres Dunia Kedua Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak yang diselenggarakan Unicef, Selasa (11/12).

Pengalaman Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dalam upaya penanganan kasus perdagangan anak di Sumatera Utara (Sumut), sebagaimana dituturkan Sekretaris Eksekutif PKPA Ahmad Sofian, mendapatkan sejumlah kelemahan. Antara lain, ada keterbatasan polisi dalam menangkap pelaku utama. Alasannya, tidak cukup anggaran untuk mencari tersangka di luar Sumut.

Kemampuan jaksa juga terbatas, bukti-bukti yang disampaikan ke pengadilan kurang meyakinkan hakim. Dari ancaman hukuman maksimal enam tahun, terdakwa hanya terkena satu tahun enam bulan. Selain itu, belum ada crisis centre yang mampu memulihkan anak korban perdagangan sehingga penanganan korban dari aspek psikologis dan medis kurang terprogram.

"Jumlah anak yang diperdagangkan untuk tujuan pelacuran di Sumut mencapai 300-400 anak per tahun. Sebagian besar dijual ke Batam, Tanjung Balai Karimun, dan Dumai," tutur Ahmad.

"Masalah perdagangan anak merupakan bentuk kejahatan terorganisasi terbesar nomor tiga di dunia setelah perdagangan obat bius dan senjata."

Langgar hak anak

Hal senada dikemukakan Senior Programme Coordinator Unicef Willem Standaert. Dalam laporan Unicef berjudul "Children on the Edge: Protecting Children from Commercial Exploitation and Trafficking in East Asia and Pacific", setiap tahun diperkirakan satu juta anak terperangkap dalam perdagangan seks komersial multi milyaran dollar di Asia Selatan dan Tenggara. Jumlah pelacur anak di subwilayah Mekong kini mencapai sepertiga dari seluruh pekerja seks.

Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak anak paling mendasar sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Hak Anak. Anak korban perdagangan mengalami kekerasan fisik dan emosi, dipaksa meninggalkan tempat asalnya, terampas hak atas pendidikan, menjadi korban diskriminasi dan dieksploitasi secara ekonomi.

Di Indonesia, organisasi nonpemerintah berperan penting dalam pemulihan dan reintegrasi anak yang diselamatkan dari bisnis seks komersial serta perdagangan anak.

Menurut Standaert, sebagian upaya pemulihan harus ditujukan kepada penegakan hukum yang menjadi bagian terlemah di Indonesia. Sering kali pelaku eksploitasi dan konsumen anak tidak dihukum. Sebaliknya anak yang dieksploitasi secara seksual sering diperlakukan secara kriminal dan ditempatkan dalam tahanan.

"Revisi kerangka hukum sangat mendesak untuk disesuaikan dengan standar internasional. Perlu ada jaminan, pengajuan kasus kekerasan ke pengadilan tidak berhenti karena ambivalensi interpretasi hukum dan lemahnya hukuman bagi pelaku pelanggaran," tandas Standaert.

Dalam sambutannya, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Sri Redjeki Sumaryoto menyatakan perlunya strategi integratif untuk menyelesaikan masalah ini.

Pemerintah telah menandatangani Protokol Tambahan untuk Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak, September 2001. Kini, pemerintah juga sedang mempersiapkan penyusunan rencana aksi nasional menentang eksploitasi seksual komersial anak.

Delegasi Indonesia ke kongres yang akan berlangsung 17-20 Desember di Yokohama, Jepang, menurut Farid Mohammad yang bertindak sebagai NGO Regional Focal Point untuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak, akan dipimpin oleh Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. (atk)